Mohammed Arkoun: Memikirkan Kembali Islam dan Melawan Ortodoksi
Nama Mohammed Arkoun memang sudah tidak asing lagi bagi para pengkaji pemikiran Islam kontemporer. Bersama rekan-rekan intelektual lainnya, ia menelaah kembali pemikiran Islam dengan metode interdisipliner yang memadukan filsafat, linguistik, kritik historis, teologi, hingga antropologi terapan. Formulanya dalam mengkaji sekaligus mengkritik nalar berpikir dalam memahami Islam, dapat dibaca dalam karya populernya yang berjudul, Rethinking Islam. Sebagai intelektual muslim, Arkoun bisa dikatakan fenomenal namun juga sering dianggap kontroversial terutama bagi kalangan pemikir Islam klasik tradisional dan ortodoks.
Biografi dan Latar Belakang Sosio Kultural
Mohammed Arkoun sendiri lahir pada tanggal 1 Februari 1928 di Taourirt-Mimoum, Kabiliah, sebuah daerah pegunungan yang dihuni etnis Berber sebelah timur Kota Aljir, Aljazair. Latar belakang budaya tempat kelahirannya membuat Arkoun fasih menggunakan tiga bahasa yakni, bahasa Kabiliah dalam percakapan sehari-hari, bahasa Prancis untuk pendidikan dan urusan administratif, serta bahasa Arab sebagai bahasa nasional negara Aljazair. Jenjang pendidikan formal membuat ia semakin erat dengan tiga bahasa tersebut. Ketiga bahasa itu pula yang menjadi faktor penting yang mempengaruhi cara berfikir dan perkembangan pemikiranya.
Dalam bidang pendidikan, kesarjanaan Arkoun mula-mula diawali dengan menempuh pendidikan Bahasa dan Sastra Arab serta pemikiran Islam di Universitas Aljir tahun 1950 hingga 1954. Pendidikan pasca-sarjana hingga ia dikenal sebagai seorang intelektual Islam dihabiskannya di Prancis. Pada tahun 1961 ia diangkat menjadi dosen di Universitas Sorbonne Paris serta meraih gelar Doktor sastra pada tahun 1969. Pada tahun 1970 sampai 1972, Arkoun mengajar di Universitas Lyon namun kemudian mengabdikan diri kembali ke Sorbonne sebagai guru besar sejarah pemikiran Islam.
Ursula Günther dalam biografi Mohammed Arkoun: ein moderner Kritiker der islamischen Vernunft (2004), menyebut Arkoun sebagai pelintas batas karena berhasil memadukan tren pemikiran sosial humaniora Prancis dalam proyek intelektualitasnya tentang Islam. Dalam buku yang berjudul Cosmopolitans and Heretics: New Intellectual Muslims and the Study of Islam (2011), Carool Kersten menyebut Arkoun sebagai perintis pendekatan baru studi keislaman. Arkoun seorang yang kreatif, melalui pendekatan historis terhadap tradisi, telah membawanya untuk melihat lebih jauh terhadap apa yang ‘tidak terpikirkan’ dalam pemikiran Islam.
Jembatan antara Islam dan Barat
Proyek intelektualitas Arkoun didasari atas keresahannya melihat kondisi muslim Aljazair dan Arab pada umumnya yang tertinggal jauh dari segi ilmu pengetahuan dibanding Prancis dan negara-negara Barat lainnya. Ia menilai negaranya dalam kondisi miskin intelektual (intellectual poverty) sehingga ia mulai dengan gagasannya untuk memikirkan kembali Islam beserta tradisi Arab. Kemiskinan intelektual tersebut menurut Arkoun membuat citra Islam menjadi tidak baik di mata Barat. Ia mengkritik pola pikir masyarakat Arab dan Islam yang kaku dan selalu mandek mempertentangkan antara turats centris (tradisi tafsir ulama terdahulu) dengan logos centris (berbasis akal logika) yang mereka anggap produk Barat.
Di sisi lain, Arkoun juga mengkritik cara pandang Barat yang dikatakan tidak luas mengenai Islam akibat bias orientalisme. Islamologi Klasik yang dipelopori para sarjana Barat terdahulu dianggapnya hanyalah produk orientalis tentang Islam. Islam dikaji tanpa memahami kondisi sosial budaya masyarakat penganutnya serta tidak ditempatkan sebagai sebuah epistemologi. Para orientalis membaca Islam secara subjektif berangkat dari sebuah pra-anggapan dengan kacamata teologis dan ideologis tertentu yang mengandung semangat kolonialisme.
Berdasarkan tulisan dan kuliah yang disampaikannya, nampak Arkoun ingin memadukan unsur paling mulia dari agama Islam dan unsur paling berharga dalam pemikiran Barat. Ia ingin memainkan peran sebagai cendekiawan Muslim yang menjembatani dunia Barat dengan Islam agar berdialektika secara hangat. Bagi Arkoun, masyarakat Islam dan Barat selalu saling terkait sepanjang rentang sejarah kedua peradaban, sehingga semestinya tidak ada dikotomi antara keduanya. Baik pemikiran Barat dengan Islam dapat saling menyatu dan dihargai namun tetap harus selalu dievaluasi.
Kritik Nalar dan Memikirkan Kembali Islam
Guna menjembatani pengetahuan antara Islam dengan Barat sekaligus bentuk keprihatinan intelektual terhadap masyarakatnya, Arkoun mengembangkan sebuah istilah yaitu ‘memikirkan kembali (rethinking) Islam’. Salah satu poin dari rethingking Islam itu adalah kritik terhadap model studi keislaman klasik sekaligus mengangkat ‘derajat’ masyarakat muslim dengan mengadopsi studi-studi filsafat Barat, khususnya Prancis tempat ia menimba ilmu. Ia menawarkan sebuah kajian Islam menggunakan pendekatan eklektik (eclectic approach) yang meliputi aspek; linguistik, kritik historis, psikologi, sosiologi dan antropologi. Secara umum metode yang ia kembangkan adalah mengkaji Islam dalam kerangka paradigma humanisme.
Dalam disertasi doktoralnya, Arkoun membahas mengenai konsep humanisme dari Ibnu Miskawaih seorang filsuf Persia abad ke-11. Berdasarkan pendekatan humanisme tersebut, ia menolak Islam dijadikan sebagai basis ideologi politik serta lebih menekankan metode sosiologis dan antropologis sebagai kerangka utama kajian Islam. Dalam upayanya untuk ‘memikirkan kembali Islam’, Arkoun mengembangkan sebuah kerangka metode yang dinamakannya ‘islamologi terapan’.
Islamologi terapan merupakan adopsi dari applied anthropology, yakni mengkombinasikan bermacam pendekatan ilmu pengetahuan guna membangun sebuah konsep berpikir yang saling menguatkan. Islamologi terapan ini bertujuan pada dua kritik, yaitu penolakan terhadap cara pandang orientalisme Barat terhadap Islam namun juga tetap kritis terhadap tafsiran-tafsiran yang dianggap kaku dari para pemuka agama. Arkoun jelas menolak monopoli wacana dan pemahaman akan keislaman yang sering digunakan oleh para penggiat Islam politik.
Metode islamologi terapan dari Arkoun tidak terbatas hanya pada kajian tekstual dan filologi semata. Ia menjelaskan bahwa nalar berpikir masyarakat tidak sekedar diproduksi dan ditelusuri dari teks namun harus dicermati juga konteks lingkungan sosiologis beserta aspek kesejarahannya. Pisau bedah untuk mengerjakan studi tersebut adalah dengan menggunakan teori dekonstruksi dan kritik historis antropologis.
Dekonstruksi dan Kritik Historis-Antropologis
Teori dekonstruksi dalam pemikiran Arkoun diadopsi dari filsuf posmodern Prancis yaitu Jacques Derrida. Dalam dekonstruksi, yang menjadi aspirasi utama adalah menyingkap makna-makna yang dipinggirkan, diabaikan atau bahkan disembunyikan (Haryatmoko,2016). Dekonstruksi datang untuk mengusik sebuah penafsiran yang dianggap final dan baku serta dijaga oleh sebuah otoritas. Arkoun menggunakan teori ini untuk membongkar paradigma inklusivisme akan sebuah tafsir kebenaran tunggal yang dilegitimasi dalam tradisi turats.
Dekonstruksi ala Arkoun pertama-tama dialamatkan kepada tradisi turats beserta konsep-konsep pokok lain yang berkaitan dengannya. Turats yang berupa metodologi tradisi tafsir ulama terdahulu, bagi Arkoun adalah sebuah produk imajiner sosial. Dengan begitu, ia mengajak para pemikir Islam selanjutnya untuk lebih kritis, berani mempertanyakan ulang bahkan membongkar tafsiran-tafsiran terdahulu yang telah dianggap mapan. Agar dekonstruksi tersebut semakin berjalan baik, harus dilihat serta ditelusuri apa yang ditindas dan disembunyikan dari sejarah.
Nah, dalam tugas ini Arkoun menggunakan metode kritik historis-antropologis dari Michel Foucault. Arkoun mengungkapkan bahwa ajaran Islam yang membentuk peradaban, juga berjalan secara bertahap dan setiap tahapannya dibentuk serta dicirikan oleh suatu struktur pemikiran tertentu yang disebut nalar (épistème). Ketika zaman berubah maka berubah juga nalar épistème tersebut sehingga nantinya membentuk sebuah patahan-patahan (fractures). Tradisi dan metode pemikiran keislaman (turats) seperti fikih, periwayatan hadis, hingga tasawuf merupakan sebuah produk épistème sosial yang sifatnya relatif dan harus ditelusuri selalu konteks peristiwa sejarahnya. Arkoun tidak menolak atau berusaha menghilangkan tradisi turats, inti dari pemikirannya adalah agar pemikiran masyarakat Islam dan Arab selalu dinamis dan progresif mengikuti setiap perkembangan épistème zaman yang berubah.
Tidak semua kalangan mampu memahami dan menerima kritik serta pemikiran radikal progresif Arkoun. Bagi kalangan konservatif ortodoks dan kalangan fundamentalis, pemikiran Arkoun dianggap berbahaya karya dianggap merusak tatanan tradisi pemikiran Islam serta mendelegitimasi kepakaran ulama. Kecaman dan reaksi negatif terhadapnya sering terjadi, termasuk saat Arkoun wafat tahun 2010 dan jasadnya ditolak untuk dimakamkan di kampung halamannya sendiri Aljazair. Akan tetapi, sumbangan pemikirannya merupakan sebuah oase yang memperkaya khazanah pemikiran yang mempertemukan dunia Islam dan Barat serta hermeneutika tafsir agama di era kontemporer.
Tag : Agama, Filsafat, Sosiologi
Kategori : 101
Link Gambar :http://t0.gstatic.com/licensed-image?q=tbn:ANd9GcRlX2fP1yUBmPS-Z8mqiUGimNAAU2Qkvke_se8QkjVDv0rpg-CBVjNzPWZh4n7r
Sumber:
Arkoun, Mohammed.(2003). Rethinking Islam Today. Michigan State University Libraries.
Azra, Azyumardi. (2012). Intelektual Muslim Baru dan Kajian Islam. Indonesian Journals for Islamic Studies, Vol 19, №1.(ISSN:0215–0492)
Günther, Ursula. (2004). Mohammed Arkoun: Ein moderner Kritiker der islamischen Vernunft. Ergon
Haryatmoko, (2016). Membongkar Rezim Kepastian: Pemikiran Kritis Post-Strukturalis. Yogya: Kanisius.
Kersten, Carool. (2011). Cosmopolitans and Heretics: New Intellectual Muslims and the Study of Islam. Reviewed by Sajjad Rizvi. https://doi.org/10.1080/00263206.2012.688671
Mas’ud, Yulius. (2009). Muhammad Arkoun: Antara Turats dan Modernitas. Ulunnuha: Jurnal Kajian Islam, Vol 1, №1.(ISSN:2086–3721)